TAFSIR SURAT AL MAIDAH AYAT 35 TENTANG TAWASUL (PERANTARA)
CARILAH
Wasilah untuk mendekatkan diri !
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan dii kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalanNya agar kamu beruntung.”(QS.Al-Maidah: 35)
Makna
Tawassul
At tawassul secara
bahasa artinya mendekatkan diri dengan sesuatu amal (Al Misbahul Munir, 2/660).
Bisa juga dimaknai dengan berharap (ar raghbah) dan butuh (Lihat Al
Mufradat fi ghoribil Qur’an, 523). Terkadang juga dimaknai dengan “tempat yang
tinggi”. Sebagaimana terdapat dalam lafadz do’a setelah adzan: “Aati
Muhammadanil wasilata…”. Disebutkan dalam Shahih Muslim bahwa makna “Al
Wasilah” pada do’a di atas adalah satu kedudukan di surga yang hanya akan
diberikan kepada satu orang saja.
Ringkasnya, tawassul secara bahasa memiliki empat makna: mendekatkan diri, berharap, butuh, dan kedudukan yang tinggi.
Dalam Al Qur’an, kata “Al Wasilah” terdapat di dua tempat:
[Pertama] di surat Al Maidah ayat 35, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah “Al Wasilah” kepadaNya dan berjuanglah di jalanNya agar kalian beruntung.”
[Kedua] di surat Al Isra’ ayat 57, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari “Al Wasilah” kepada Rabb mereka, siapakah diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)….”
Dua ayat di atas, terutama surat Al Maidah ayat 35, sering digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai dalil untuk melakukan tawassulyang terlarang. Penyebabnya adalah kesalahpahaman dalam menafsirkan kalimat: “Carilah Al Wasilah kepada-Nya..” Untuk itu, sebelum membahas masalah ini lebih lanjut, akan dibahas tafsir kalimat tersebut dengan merujuk beberapa pendapat para ahli tafsir dalam rangka meluruskan pemahaman tentang kalimat di atas.
Tafsir para ulama tentang makna Al wasilah pada surat Al Maidah ayat 35:
Ringkasnya, tawassul secara bahasa memiliki empat makna: mendekatkan diri, berharap, butuh, dan kedudukan yang tinggi.
Dalam Al Qur’an, kata “Al Wasilah” terdapat di dua tempat:
[Pertama] di surat Al Maidah ayat 35, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah “Al Wasilah” kepadaNya dan berjuanglah di jalanNya agar kalian beruntung.”
[Kedua] di surat Al Isra’ ayat 57, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari “Al Wasilah” kepada Rabb mereka, siapakah diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)….”
Dua ayat di atas, terutama surat Al Maidah ayat 35, sering digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai dalil untuk melakukan tawassulyang terlarang. Penyebabnya adalah kesalahpahaman dalam menafsirkan kalimat: “Carilah Al Wasilah kepada-Nya..” Untuk itu, sebelum membahas masalah ini lebih lanjut, akan dibahas tafsir kalimat tersebut dengan merujuk beberapa pendapat para ahli tafsir dalam rangka meluruskan pemahaman tentang kalimat di atas.
Tafsir para ulama tentang makna Al wasilah pada surat Al Maidah ayat 35:
1.
Al Jalalain, “carilah “Al Wasilah” kepadaNya”,
maknanya: “carilah amal ketaatan yang bisa mendekatkan diri kalian kepada
Allah.” (Tafsir Jalalain surat Al Maidah: 35)
2.
Ibnu Katsir menukil tafsir dari Qatadah, “Carilah
“Al Wasilah” kepadaNya”, tafsirnya: “mendekatkan diri kepadanya dengan
melakukan ketaatan dan amal yang Dia ridhai.”
Ibnu Katsir juga menukil tafsir dari Ibnu Abbas, Mujahid, Atha’, Abu Wail, Al Hasan Al Bashri, Qotadah, dan As-Sudi, bahwa yang dimaksud “Carilah Al Wasilah…” adalah mendekatkan diri. (Tafsir Ibn Katsir surat Al Maidah ayat 35)
Ibnu Katsir juga menukil tafsir dari Ibnu Abbas, Mujahid, Atha’, Abu Wail, Al Hasan Al Bashri, Qotadah, dan As-Sudi, bahwa yang dimaksud “Carilah Al Wasilah…” adalah mendekatkan diri. (Tafsir Ibn Katsir surat Al Maidah ayat 35)
3.
Ibnul Jauzi menyebutkan di antara tafsir yang lain
untuk kalimat,“Carilah al Wasilah kepadaNya..” adalah carilah kecintaan
dariNya. (Zaadul Masir, surat Al Maidah ayat 35).
4.
Sementara Al Baidhawi mengatakan bahwa yang
dimaksud:“carilah al wasilah kepadaNya…” adalah mencari sesuatu untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan mendekatkan diri pada pahala yang Allah
berikan dengan melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat.” (Tafsir Al
Baidhawi “Anwarut Tanzil”untuk ayat di atas).
Pengertian
tawassul
Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il (An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir). Sedang menurut istilah syari’at, al wasilah yang diperintahkan dalam alqur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan.(Tafsir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103)
Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il (An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir). Sedang menurut istilah syari’at, al wasilah yang diperintahkan dalam alqur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan.(Tafsir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103)
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan)
untuk mendekatkan dii kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalanNya agar
kamu beruntung.”(QS.Al-Maidah: 35)
Mengenai ayat di atas Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu berkata, ”Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah al-qurbah (peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut, ”Mendekatlah kepada Allah dengan mentaatiNya dan mengerjakan amalan yang di ridhoiNya.” (Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103).
Tawassul yang disyari’atkan
Berdasarkan penjelasan tentang pengertian tawassul di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya setiap ketaatan dan sikap merendahkan diri di hadapan Allah dapat dijadikan sebagai bentuktawassul. Namun di sana ada beberapa amal khusus yang disebutkan dalam dalil untuk dijadikan sebagai bentak bertawassul kepada Allah, di antaranya:
1) Melalui asmaul husna
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya …” (QS. Al A’raf: 180)
Berdasarkan ayat tersebut, dianjurkan bagi setiap yang hendak berdo’a untuk memuji Allah terlebih dahulu dengan menyebut nama-namaNya yang mulia dan disesuaikan dengan isi do’a. Misalnya do’a minta ampunan dan rahmat, maka dianjurkan untuk menyebut nama Allah: Al Ghafur Ar Rahiim.
2) Membaca shalawat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua do’a tertutupi (tidak bisa naik ke langit) sampai dibacakan shalawat untuk Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At Thabrani dalam Al Ausath dan dihasankan Al Albani)
3) Memilih waktu dan tempat mustajab
Ada beberapa waktu yang mustajab untuk berdo’a, di antaranya:
• Waktu antara adzan dan iqamah, berdasarkan hadits, “Do’a di antara adzan dan iqamah tidak ditolak, maka berdo’alah.” (HR. At Tirmidzi dan dishahihkan Al Albani)
• Di akhir shalat fardhu sebelum salam, berdasarkan riwayat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Kapankah do’a seseorang itu paling didengar?” Beliau menjawab, “Tengah malam dan akhir shalat fardhu.” (HR. At Tirmidzi dan dihasankan Al Albani). Yang dimaksud “akhir shalat fardlu” adalah setelah tasyahud sebelum salam.
• Satu waktu di hari jum’at setelah ‘Ashar, berdasarkan hadits, “Hari jum’at itu ada 12 jam. Di antaranya ada satu waktu yang jika seorang muslim memohon kebaikan kepada Allah pada waktu tersebut pasti Allah beri. Cari waktu itu di akhir hari setelah ashar.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Hakim dengan disetujui Ad Dzahabi)
Demikian sekelumit penjelasan tentang kesempatan yang baik untuk berdo’a. Masih terlalu banyak keterangan tentang waktu dan tempat yang mustajab untuk berdo’a yang tidak bisa dipaparkan pada kesempatan ini.
4) Meminta orang shaleh yang masih hidup untuk mendo’akannya
Karena keshalehan dan kedudukan manusia itu bertingkat-tingkat. Sehingga peluang terkabulkannya do’a seseorang juga bertingkat-tingkat sebanding dengan kedekatannya kepada Allah. Oleh karena itu, ada beberapa sahabat yang meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendo’akannya. Namun ada beberapa hal yang perlu untuk diingat terkait dengan meminta orang lain agar mendo’akannya:
• Hendaknya tidak dijadikan kebiasaan. Atau bahkan dijadikan sebagai ucapan latah ketika ketemu setiap orang. Sering dijumpai ada orang yang setiap ketemu orang lain pasti minta agar dido’akan. Bahkan yang lebih baik dalam hal ini adalah berusaha untuk berdo’a sendiri dan tidak menggantungkan diri dengan meminta orang lain. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakr As Siddiq radhiallahu ‘anhu yang tidak meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mendo’akan dirinya.
• Do’a yang diminta bukan murni masalah dunia dan untuk kepentingan pribadinya. Semacam lulus tes, banyak rizqi, dan semacamnya. Jika do’a itu untuk kepentingan pribadinya maka selayaknya yang diminta adalah akhirat. Sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat dengan meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamagar dirinya dimasukkan ke dalam surga. Atau, jika do’a itu isinya kepentingan dunia, maka selayaknya bukan untuk kepentingan pribadinya namun untuk kepentingan umum, semacam meminta hujan atau keamanan kampung.
5) Amal shaleh
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar seorang da’i yang mengajak untuk beriman kepada Engkau lalu kami beriman…” (QS. Ali Imran: 193).
Pada ayat di atas Allah mengajarkan salah satu cara bertawassulketika berdo’a, dengan menyebutkan amal shalih yang paling besar nilainya, yaitu memenuhi panggilan dakwah seorang nabi untuk beriman kepada Allah.
Masih banyak bentuk-bentuk tawasul lainnya yang disyari’atkan, namun mengingat keterbatasan tempat tidak bisa disebutkan. Secara ringkas, tawassul yang disyariatkan dapat dikelompokkan menjadi tiga:
• Tawassul dengan memuji Allah sambil menyebut asma’ul husna
• Tawassul dengan meminta orang shaleh yang masih hidup untuk mendo’akannya
• Tawassul dengan amal shaleh. Membaca shalawat, memilih waktu yang mustajab, dan semacamnya tercakup dalam amal shaleh.
Mengenai ayat di atas Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu berkata, ”Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah al-qurbah (peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut, ”Mendekatlah kepada Allah dengan mentaatiNya dan mengerjakan amalan yang di ridhoiNya.” (Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103).
Tawassul yang disyari’atkan
Berdasarkan penjelasan tentang pengertian tawassul di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya setiap ketaatan dan sikap merendahkan diri di hadapan Allah dapat dijadikan sebagai bentuktawassul. Namun di sana ada beberapa amal khusus yang disebutkan dalam dalil untuk dijadikan sebagai bentak bertawassul kepada Allah, di antaranya:
1) Melalui asmaul husna
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya …” (QS. Al A’raf: 180)
Berdasarkan ayat tersebut, dianjurkan bagi setiap yang hendak berdo’a untuk memuji Allah terlebih dahulu dengan menyebut nama-namaNya yang mulia dan disesuaikan dengan isi do’a. Misalnya do’a minta ampunan dan rahmat, maka dianjurkan untuk menyebut nama Allah: Al Ghafur Ar Rahiim.
2) Membaca shalawat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua do’a tertutupi (tidak bisa naik ke langit) sampai dibacakan shalawat untuk Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At Thabrani dalam Al Ausath dan dihasankan Al Albani)
3) Memilih waktu dan tempat mustajab
Ada beberapa waktu yang mustajab untuk berdo’a, di antaranya:
• Waktu antara adzan dan iqamah, berdasarkan hadits, “Do’a di antara adzan dan iqamah tidak ditolak, maka berdo’alah.” (HR. At Tirmidzi dan dishahihkan Al Albani)
• Di akhir shalat fardhu sebelum salam, berdasarkan riwayat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Kapankah do’a seseorang itu paling didengar?” Beliau menjawab, “Tengah malam dan akhir shalat fardhu.” (HR. At Tirmidzi dan dihasankan Al Albani). Yang dimaksud “akhir shalat fardlu” adalah setelah tasyahud sebelum salam.
• Satu waktu di hari jum’at setelah ‘Ashar, berdasarkan hadits, “Hari jum’at itu ada 12 jam. Di antaranya ada satu waktu yang jika seorang muslim memohon kebaikan kepada Allah pada waktu tersebut pasti Allah beri. Cari waktu itu di akhir hari setelah ashar.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Hakim dengan disetujui Ad Dzahabi)
Demikian sekelumit penjelasan tentang kesempatan yang baik untuk berdo’a. Masih terlalu banyak keterangan tentang waktu dan tempat yang mustajab untuk berdo’a yang tidak bisa dipaparkan pada kesempatan ini.
4) Meminta orang shaleh yang masih hidup untuk mendo’akannya
Karena keshalehan dan kedudukan manusia itu bertingkat-tingkat. Sehingga peluang terkabulkannya do’a seseorang juga bertingkat-tingkat sebanding dengan kedekatannya kepada Allah. Oleh karena itu, ada beberapa sahabat yang meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendo’akannya. Namun ada beberapa hal yang perlu untuk diingat terkait dengan meminta orang lain agar mendo’akannya:
• Hendaknya tidak dijadikan kebiasaan. Atau bahkan dijadikan sebagai ucapan latah ketika ketemu setiap orang. Sering dijumpai ada orang yang setiap ketemu orang lain pasti minta agar dido’akan. Bahkan yang lebih baik dalam hal ini adalah berusaha untuk berdo’a sendiri dan tidak menggantungkan diri dengan meminta orang lain. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakr As Siddiq radhiallahu ‘anhu yang tidak meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mendo’akan dirinya.
• Do’a yang diminta bukan murni masalah dunia dan untuk kepentingan pribadinya. Semacam lulus tes, banyak rizqi, dan semacamnya. Jika do’a itu untuk kepentingan pribadinya maka selayaknya yang diminta adalah akhirat. Sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat dengan meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamagar dirinya dimasukkan ke dalam surga. Atau, jika do’a itu isinya kepentingan dunia, maka selayaknya bukan untuk kepentingan pribadinya namun untuk kepentingan umum, semacam meminta hujan atau keamanan kampung.
5) Amal shaleh
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar seorang da’i yang mengajak untuk beriman kepada Engkau lalu kami beriman…” (QS. Ali Imran: 193).
Pada ayat di atas Allah mengajarkan salah satu cara bertawassulketika berdo’a, dengan menyebutkan amal shalih yang paling besar nilainya, yaitu memenuhi panggilan dakwah seorang nabi untuk beriman kepada Allah.
Masih banyak bentuk-bentuk tawasul lainnya yang disyari’atkan, namun mengingat keterbatasan tempat tidak bisa disebutkan. Secara ringkas, tawassul yang disyariatkan dapat dikelompokkan menjadi tiga:
• Tawassul dengan memuji Allah sambil menyebut asma’ul husna
• Tawassul dengan meminta orang shaleh yang masih hidup untuk mendo’akannya
• Tawassul dengan amal shaleh. Membaca shalawat, memilih waktu yang mustajab, dan semacamnya tercakup dalam amal shaleh.
Tawassul
Dengan Nabi SAW
Tawassul dengan Nabi SAW bisa bermakna seseorang memohon kepada Nabi SAW agar mendoakan dirinya, atau bisa juga berdoa kepada Allah dengan menyertakan nama beliau dalam doa. Adapun yang pertama, yaitu memohon doa dari Nabi SAW, hal itu sering dilakukan oleh para sahabat ketika beliau masih hidup. Hal itu disinggung dalam Al Quran:
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisaa': 64)
Dalam sunnah pun hal itu sering disinggung. Dalam hadis Utsman bin Hunaif disebutkan bahwa seorang buta memohon kepada Nabi agar mendoakan dirinya supaya diberi kesembuhan. Lalu beliau menyuruhnya berwudhu lalu berdoa dengan doa sebagai berikut:
اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبى الرحمة يا محمد إنى توجهت بك إلى ربى فى حاجتى هذه لتقضى لى اللهم فشفعه فى
"Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu dan aku menghadapkan wajahku kepadaMu dengan perantaraan NabiMu Muhammad, Nabiyyur Rahmah. Wahai Muhammad, sungguh aku menghadapkan wajahku dengan perantaraanmu kepada Tuhanku tentang hajatku ini agar Dia memenuhinya. Ya Allah, maka jadikanlah ia pemberi syafaatku." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)
Hadis riwayat Anas bin Malik:
Bahwa seorang sahabat memasuki mesjid pada hari Jumat dari pintu searah dengan Darulqada. Pada waktu itu Rasulullah saw. sedang berdiri berkhutbah. Sahabat tersebut menghadap Rasulullah saw. sambil berdiri, lalu berkata: Ya Rasulullah, harta benda telah musnah dan mata penghidupan terputus, berdoalah kepada Allah, agar Dia berkenan menurunkan hujan. Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya dan berdoa: "Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami". Kata Anas: Demi Allah, di langit kami tidak melihat mendung atau gumpalan awan. Antara kami dan gunung tidak ada rumah atau perkampungan (yang dapat menghalangi pandangan kami untuk melihat tanda-tanda hujan). Tiba-tiba dari balik gunung muncul mendung bagaikan perisai. Ketika berada di tengah langit mendung itu menyebar lalu menurunkan hujan. Demi Allah, kami tidak melihat matahari sedikit pun pada hari Jumat berikutnya. Kemudian kata Anas lagi: Pada Jumat berikutnya seseorang datang dari pintu yang telah di sebut di atas ketika Rasulullah saw. sedang berkhutbah. Orang itu menghadap beliau sambil berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, harta-harta telah musnah dan mata pencarian terputus (karena hujan terus menerus), berdoalah agar Allah berkenan menghentikannya. Rasulullah saw. mengangkat tangannya dan berdoa: "Ya Allah, di sekitar kami dan jangan di atas kami. Ya Allah, di atas gunung-gunung dan bukit-bukit, di pusat-pusat lembah dan tempat tumbuh pepohonan". Hujan pun reda dan kami dapat keluar, berjalan di bawah sinar matahari. (Shahih Muslim No.1493)
Tawassul Dengan Nabi SAW Setelah Beliau Wafat
Para ulama bersepakat bahwa tawassul dengan Nabi SAW ketika beliau masih hidup adalah diperbolehkan. Namun mereka berbeda pendapat mengenai tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat. Mayoritas (juhmur) ulama membolehkannya, di antaranya adalah Malikiyah, Syafiiyah, Mutaakhirin Hanafiyah dan Mazhab Hambali, sedangkan sebagian Hanabilah tidak memperbolehkannya. Berikut ini rinciannya:
1. Pendapat Malikiyah
Al Qasthallani berkata: Telah diriwayatkan bahwa Imam Malik ketika ditanya oleh Abu Ja'far Manshur Al Abbasi, Khalifah kedua Bani Abbas, "Wahai Abu Abdillah (Imam Malik), apakah saya harus menghadap Rasulullah lalu berdoa atau menghadap kiblat lalu berdoa?"
Imam Malik menjawab, "Mengapa kau memalingkan wajahmu darinya (Rasulullah) padahal ia adalah wasilah (perantara)mu dan wasilah bapakmu Adam AS kepada Allah pada hari Kiamat? Menghadaplah ke arahnya, lalu minta kepada Allah dengannya, Dia akan menjadikannya pemberi syafaat bagimu."
Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Al Hasan Ali bin Fihr dalam kitabnya, Fadhoil Malik (keutamaan-keutamaan Malik) dengan sanad yang tak ada masalah. Juga disebutkan oleh Al Qadhi Iyadh dalam kitabnya Asy-Syifa melalui jalurnya dari para pembesar masyayikhnya yang terpercaya.
2. Pendapat Syafiiyah
Imam Nawawi berkata mengenai adab ziarah kubur Nabi SAW, "Kemudian orang yang berkunjung itu menghadapkan wajahnya ke arah Nabi SAW lalu bertawassul dengannya dan memohon syafaat dengannya kepada Allah." (Al Majmu' 8/2740)
Izzuddin bin Abdissalam berkata, "Sebaiknya hal ini hanya berlaku untuk Rasulullah SAW saja karena beliau adalah pemimpin Bani Adam (manusia)."
As Subki berkata, "Disunnahkan bertawassul dengan Nabi SAW dan meminta syafaat dengannya kepada Allah SAW."
Dalam I'anat at Thalibin disebutkan, "Aku telah datang kepadamu dengan istighfar dari dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada Tuhanku." (Lihat: (Faidhul Qadir 2/134/135, I'anat at Thalibin 2/315, Muqaddimah At Tajrid Ash Sharih tahqiq Dr Musthofa Dib Al Bugho)
3. Pendapat Hanabilah
Ibnu Qudamah berkata dalam Al Mughni, "Disunnahkan bagi yang memasuki masjid untuk mendahulukan kaki kanan… kemudian anda masuk ke kubur lalu berkata… "Aku telah mendatangimu dengan beristighfar dari dosa-dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada Allah."
Demikian pula dalam Asy Syarhul Kabir.
4. Pendapat Hanafiyah
Adapun Hanafiyah, para ulama Mutaakhirin mereka telah membolehkan bertawassul dengan Nabi SAW.
Al Kamal bin Al Humam berkata dalam Fathul Qadir tentang ziarah kubur Rasulullah SAW, "…kemudian dia berkata pada posisinya: Assalamu'alaika ya rasulullah (salam bagimu wahai Rasulullah)… dan memohon kepada Allah hajatnya dengan bertawassul kepada Allah dengan Hadrat NabiNya SAW."
Pengarang kitab Al Ikhtiyar menulis, "Kami datang dari negeri yang jauh… dan memohon syafaat denganmu kepada Rabb kami… kemudia berkata: dengan memohon syafaat dengan NabiMu kepadamu."
Hal yang senada juga disebutkan dalam kitab Maraqi Al Falah dan Ath Thahawi terhadap Ad Durrul Mukhtar dan Fatawa Hindiyah, "Kami telah datang mendengar firmanMu, menaati perintahMu, memohon syafaat dengan NabiMu kepadaMu."
5. Pendapat Imam Syaukani
Imam Syaukani berkata, "Dan bertawassul kepada Allah dengan para nabiNya dan orang-orang shalih." (Tuhfatu Adz Dzakirin karangan Syaukani 37)
6. Pendapat Ibnu Taimiah
Ibnu Taimiah berpendapat bahwa bertawassul dengan zat Nabi SAW tidak diperbolehkan, karena menurutnya tawassul dengan Nabi SAW mengandung 3 kemungkinan. Pertama, tawassul dengan iman dan islam, yaitu beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan menaatinya, ini hukumnya boleh. Kedua, tawassul dengan doa Nabi SAW, ini juga boleh sebagaimana Umar bin Khattab bertawassul dengan Nabi SAW dan pama Nabi, maksudnya yaitu dengan doa mereka berdua. Ketiga, tawassul dalam arti bersumpah dan meminta dengan zat Nabi SAW, ini yang tidak boleh.
Tawassul dengan Nabi SAW bisa bermakna seseorang memohon kepada Nabi SAW agar mendoakan dirinya, atau bisa juga berdoa kepada Allah dengan menyertakan nama beliau dalam doa. Adapun yang pertama, yaitu memohon doa dari Nabi SAW, hal itu sering dilakukan oleh para sahabat ketika beliau masih hidup. Hal itu disinggung dalam Al Quran:
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisaa': 64)
Dalam sunnah pun hal itu sering disinggung. Dalam hadis Utsman bin Hunaif disebutkan bahwa seorang buta memohon kepada Nabi agar mendoakan dirinya supaya diberi kesembuhan. Lalu beliau menyuruhnya berwudhu lalu berdoa dengan doa sebagai berikut:
اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبى الرحمة يا محمد إنى توجهت بك إلى ربى فى حاجتى هذه لتقضى لى اللهم فشفعه فى
"Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu dan aku menghadapkan wajahku kepadaMu dengan perantaraan NabiMu Muhammad, Nabiyyur Rahmah. Wahai Muhammad, sungguh aku menghadapkan wajahku dengan perantaraanmu kepada Tuhanku tentang hajatku ini agar Dia memenuhinya. Ya Allah, maka jadikanlah ia pemberi syafaatku." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)
Hadis riwayat Anas bin Malik:
Bahwa seorang sahabat memasuki mesjid pada hari Jumat dari pintu searah dengan Darulqada. Pada waktu itu Rasulullah saw. sedang berdiri berkhutbah. Sahabat tersebut menghadap Rasulullah saw. sambil berdiri, lalu berkata: Ya Rasulullah, harta benda telah musnah dan mata penghidupan terputus, berdoalah kepada Allah, agar Dia berkenan menurunkan hujan. Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya dan berdoa: "Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami". Kata Anas: Demi Allah, di langit kami tidak melihat mendung atau gumpalan awan. Antara kami dan gunung tidak ada rumah atau perkampungan (yang dapat menghalangi pandangan kami untuk melihat tanda-tanda hujan). Tiba-tiba dari balik gunung muncul mendung bagaikan perisai. Ketika berada di tengah langit mendung itu menyebar lalu menurunkan hujan. Demi Allah, kami tidak melihat matahari sedikit pun pada hari Jumat berikutnya. Kemudian kata Anas lagi: Pada Jumat berikutnya seseorang datang dari pintu yang telah di sebut di atas ketika Rasulullah saw. sedang berkhutbah. Orang itu menghadap beliau sambil berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, harta-harta telah musnah dan mata pencarian terputus (karena hujan terus menerus), berdoalah agar Allah berkenan menghentikannya. Rasulullah saw. mengangkat tangannya dan berdoa: "Ya Allah, di sekitar kami dan jangan di atas kami. Ya Allah, di atas gunung-gunung dan bukit-bukit, di pusat-pusat lembah dan tempat tumbuh pepohonan". Hujan pun reda dan kami dapat keluar, berjalan di bawah sinar matahari. (Shahih Muslim No.1493)
Tawassul Dengan Nabi SAW Setelah Beliau Wafat
Para ulama bersepakat bahwa tawassul dengan Nabi SAW ketika beliau masih hidup adalah diperbolehkan. Namun mereka berbeda pendapat mengenai tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat. Mayoritas (juhmur) ulama membolehkannya, di antaranya adalah Malikiyah, Syafiiyah, Mutaakhirin Hanafiyah dan Mazhab Hambali, sedangkan sebagian Hanabilah tidak memperbolehkannya. Berikut ini rinciannya:
1. Pendapat Malikiyah
Al Qasthallani berkata: Telah diriwayatkan bahwa Imam Malik ketika ditanya oleh Abu Ja'far Manshur Al Abbasi, Khalifah kedua Bani Abbas, "Wahai Abu Abdillah (Imam Malik), apakah saya harus menghadap Rasulullah lalu berdoa atau menghadap kiblat lalu berdoa?"
Imam Malik menjawab, "Mengapa kau memalingkan wajahmu darinya (Rasulullah) padahal ia adalah wasilah (perantara)mu dan wasilah bapakmu Adam AS kepada Allah pada hari Kiamat? Menghadaplah ke arahnya, lalu minta kepada Allah dengannya, Dia akan menjadikannya pemberi syafaat bagimu."
Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Al Hasan Ali bin Fihr dalam kitabnya, Fadhoil Malik (keutamaan-keutamaan Malik) dengan sanad yang tak ada masalah. Juga disebutkan oleh Al Qadhi Iyadh dalam kitabnya Asy-Syifa melalui jalurnya dari para pembesar masyayikhnya yang terpercaya.
2. Pendapat Syafiiyah
Imam Nawawi berkata mengenai adab ziarah kubur Nabi SAW, "Kemudian orang yang berkunjung itu menghadapkan wajahnya ke arah Nabi SAW lalu bertawassul dengannya dan memohon syafaat dengannya kepada Allah." (Al Majmu' 8/2740)
Izzuddin bin Abdissalam berkata, "Sebaiknya hal ini hanya berlaku untuk Rasulullah SAW saja karena beliau adalah pemimpin Bani Adam (manusia)."
As Subki berkata, "Disunnahkan bertawassul dengan Nabi SAW dan meminta syafaat dengannya kepada Allah SAW."
Dalam I'anat at Thalibin disebutkan, "Aku telah datang kepadamu dengan istighfar dari dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada Tuhanku." (Lihat: (Faidhul Qadir 2/134/135, I'anat at Thalibin 2/315, Muqaddimah At Tajrid Ash Sharih tahqiq Dr Musthofa Dib Al Bugho)
3. Pendapat Hanabilah
Ibnu Qudamah berkata dalam Al Mughni, "Disunnahkan bagi yang memasuki masjid untuk mendahulukan kaki kanan… kemudian anda masuk ke kubur lalu berkata… "Aku telah mendatangimu dengan beristighfar dari dosa-dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada Allah."
Demikian pula dalam Asy Syarhul Kabir.
4. Pendapat Hanafiyah
Adapun Hanafiyah, para ulama Mutaakhirin mereka telah membolehkan bertawassul dengan Nabi SAW.
Al Kamal bin Al Humam berkata dalam Fathul Qadir tentang ziarah kubur Rasulullah SAW, "…kemudian dia berkata pada posisinya: Assalamu'alaika ya rasulullah (salam bagimu wahai Rasulullah)… dan memohon kepada Allah hajatnya dengan bertawassul kepada Allah dengan Hadrat NabiNya SAW."
Pengarang kitab Al Ikhtiyar menulis, "Kami datang dari negeri yang jauh… dan memohon syafaat denganmu kepada Rabb kami… kemudia berkata: dengan memohon syafaat dengan NabiMu kepadamu."
Hal yang senada juga disebutkan dalam kitab Maraqi Al Falah dan Ath Thahawi terhadap Ad Durrul Mukhtar dan Fatawa Hindiyah, "Kami telah datang mendengar firmanMu, menaati perintahMu, memohon syafaat dengan NabiMu kepadaMu."
5. Pendapat Imam Syaukani
Imam Syaukani berkata, "Dan bertawassul kepada Allah dengan para nabiNya dan orang-orang shalih." (Tuhfatu Adz Dzakirin karangan Syaukani 37)
6. Pendapat Ibnu Taimiah
Ibnu Taimiah berpendapat bahwa bertawassul dengan zat Nabi SAW tidak diperbolehkan, karena menurutnya tawassul dengan Nabi SAW mengandung 3 kemungkinan. Pertama, tawassul dengan iman dan islam, yaitu beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan menaatinya, ini hukumnya boleh. Kedua, tawassul dengan doa Nabi SAW, ini juga boleh sebagaimana Umar bin Khattab bertawassul dengan Nabi SAW dan pama Nabi, maksudnya yaitu dengan doa mereka berdua. Ketiga, tawassul dalam arti bersumpah dan meminta dengan zat Nabi SAW, ini yang tidak boleh.
”Ya Tuhan
kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman
(yaitu),’berimanlah kamu kepada Tuhanmu’. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami,
ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang
berbakti” (QS.Ali-Imran: 193)
Komentar