MAHABBATULLAH ADALAH BAROMETER KEIMANAN

Mahabbatullah adalah barometer keimanan seseorang. Apabila seorang hamba mencintai Allah   melebihi cinta kepada selain-Nya, maka keimanannya telah mencapai kesempurnaan. Akan tetapi kewajiban untuk mencintai Allah   tidak berarti bahwa kita tidak boleh mencintai selain-Nya, bahkan mencintai kepada selain-Nya  bisa merupakan wujud dari cinta kepada Allah , asalkan semua itu dilandaskan karena Allah  dan atas perintah-Nya serta jika suatu waktu dibenturkan maka kecintaan kepada Allahlah yang harus paling unggul.
Cinta yang hakiki adalah cintanya seseorang kepada sang pencipta-Nya yang Maha memberi rizki kepada hamba-hamba-Nya, yang mengatur alam semesta ini yaitu Allah . Begitu pula cinta seseorang kepada utusan Allah , yaitu Nabi muhammad . Sebagaimana gambaran cintanya para sahabat Nabi  yang menunjukkan kegembiraannya tiada tara, yaitu ketika seseorang sahabat bertanya kepada Rasulullah  tentang kapan terjadinya hari kiamat, maka Rasulullah  menjawabnya, “Apa yang telah kamu persiapkan untuk menghadapinya?  lantas laki-laki itu terdiam, lalu menjawab “ Wahai Rasulullah ! saya tidak mempunyai banyak persiapan, baik amal shalat, puasa maupun sedekah. Tapi  saya hanya mencintai Allah    dan Rasul-Nya , beliau kemudian bersabda:   
  فَإِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
Engkau akan berserta dengan orang yang engkau cintai” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka para Sahabat    seketika itu meluapkan rasa kegembiraannya dan suasana menjadi terharu,  rasa  gembira yang mereka tumpahkan itu karena mereka diberi kabar bahwa kecintaan yang tulus akan menghantarkan seseorang pada kedudukan yang sedikit sekali bisa dicapai oleh amal. Sebab amal seorang hamba sering dihinggapi penyakit, kelalaian dan kekurangan. Berbeda dengan kecintaan yang tulus pada Allah  dan Rasul-Nya yang terhimpun dalam hati seseorang.
 Sungguh cinta (mahabbah)  akan menambah amal yang sedikit, memberkahi usaha yang minim. Ini bukan berarti meremehkan tentang amal seseorang atau memisahkan amal dengan cinta atau bahkan orang yang mencintai tidak perlu mematuhi orang  yang dicintai. Setiap amal yang dikerjakan tanpa diiringi rasa cinta maka tak ada ruh di dalamnya. Demikian pula setiap  yang mengaku cinta tanpa disertai bukti berupa amal maka tidak teranggap benar, dianggap tidak punya hakikat.  Gambaran cinta di atas adalah sesuatu yang agung dan mulia, oleh karena itu Ibnul Qoyyim  pernah berkata :
 Cinta adalah tempat persinggahan yang menjadi ajang perlombaan bagi orang-orang yang bersaing, jadi sasaran orang-orang yang beramal. Cinta adalah santapan hati, gizi dan kegemaran jiwa. Cinta ibarat kehidupan, sehingga orang yang tidak memilikinya tak ubah jasad yang tak bernyawa. Cinta adalah pelita, siapa yang tak menjaganya dia ibarat tengah berada di lautan yang gelap gulita. Cinta adalah obat penawar, siapa yang tak memilikinya hatinya dihinggapi beragam penyakit. Cinta adalah kelezatan, orang yang tak merasakannya maka seluruh hidupnya diwarnai gelisah dan penderitaan.[1]

Seseorang yang  mengaku mencintai seseorang  maka harus dibuktikan dengan perbuatan yang dapat mendekat kepada yang dicintainya. Dan begitu juga seorang hamba yang mengaku mencintai Allah   maka harus dibuktikan. Akan tetapi keadaan ini belum teraplikasikan dengan sebenar-benarnya, masih ada penyakit-penyakit hati yang menghinggapi di hati seorang hamba. Apabila diperhatikan kebanyakan manusia, bahwa cinta mereka kepada Allah k hanyalah sekedar pengakuan belaka, tidak ada kenyataan di dalam hatinya.
Karena hatinya masih tertutup oleh cinta dunia, cinta nafsu untuk berbangga diri, mengikuti nafsu dan hasad, cinta pujian dan pujaan, berdadan di depan publik, takut turun kedudukannya di mata manusia apabila mengikuti yang haq atau ketika beramal untuk mencari wajah Allah  . Sebab dia beranggapan bahwa kedudukan intelektual dan status sosialnya lebih bernilai dari pada amal kebajikan.
Seandainya rasa cinta kepada Allah   itu benar tentu hati akan terbebas dari semua ketergelinciran dan penyakit-penyakit yang terpendam, dari berbagai musibah yang  mengedepankan nafsu, pamer kepada makhluk, lemahnya rasa malu dan rasa diawasi oleh Allah . [2] Karena apabila hati seseorang jatuh cinta, maka dia akan condong kepada yang dicintainya dan berusaha mendekatinya serta berjuang untuk meraihnya dengan berbagai cara. Dan ketika itu, yang paling ia benci adalah  merusak cintanya terhadap kekasih yang dicintainya itu. Maka orang yang mencintai Orang yang memiliki cinta sejati kepada Allah  harus mencintai setiap jalan dan sarana yang mengantarkannya kepada mahabbatullah dan harus menyenangi setiap orang yang menisbatkan diri kepada Allah  . Sehingga ia mencintai setiap ucapan, perbuatan dan pribadi-pribadi yang dicintai Allah  dan sebaliknya membenci setiap perkataan, perbuatan dan pribadi-pribadi yang tidak disukai-Nya.
hidayah pasti ia akan membenci kesesatan. Orang yang menyenangi istiqomah tentu ia akan memusuhi penyimpangan.



[1] Abdul Aziz Musthafa,  Agar Anda Dicintai Allah:10 Kiat dari Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Pustaka At-Tazkia, Jakarta, 2007, hlm 3. 
[2] Abdullah bin Fahd as-Salim, Keajaiban Iman, Pustaka Yassir, Surabaya, 2008, hlm. 23.

Komentar

Postingan Populer